Minggu, 22 Mei 2011

CERPEN

UNDANGAN COKLAT MUDA
Membuka lemari dirumah Ibu sama dengan membuka luka lamaku. Kisah yang manis bahkan sangat pahit bagiku terkubur disana.
“ Lia....lama sekali kamu diatas??mana baju kebaya ibu, ibu sudah terlambat “. Teriak Ibu menunggu baju kebaya yang aku ambilkan di dalam lemarinya.
“iya...Ibu, sebentar... oia, kebayanya ibu mau pakai warna apa? ” tanyaku pura-pura lupa.
“ warna biru sayang, buruan ya, Ibu sudah terlambat”. Sahut Ibu
 Bruak...... Ketika ku tarik kebaya warna biru milik Ibu, aku kaget ada sebuah benda yang jatuh. Jantungku berdeguk kencang, “ ada apa ini “ pikirku.
Segenggam undangan berwarna coklat muda  jatuh dan terlepas  dari ikatannya, air mataku berlinang aku teringat tentang kisah dua tahun silam, perih, pahit, undangan itu adalah undangan pernikahan ku dangan Udin. Ya, Udin, pria yang ku sayangi dan kubanggakan. Terlarut aku dalam kepahitan ini aku segera bangun dan turun kebawah, karena takut Ibu tahu aku mengingat kenangan pahitku, kusembunyikan undangan – undangan itu didalam bajuku.
“ ini kebayanya, maaf menunggu lama, hehehehe....” candaku pada ibu agar dia tidak bertanya banyak tentang lamanya aku mengambilkannya kebaya.
“ iya sayang, nggak apa –apa, koq...terima kasih, ya. Sana keluar dulu Ibu mau ganti baju “ jawab Ibu
Tidak lama setelah itu Ibu dan Ayah pergi ke acara pernikahan tetanggaku. Tinggal aku dan adik – adikku yang ada di rumah. Buru – buru aku masuk kamarku dan menguncinya, ku ambil undangan itu, ku mulai baca satu persatu, ku tamati, ku ciumi, dan air mata ku kembali berlinangan. Mulai aku mengenang kisah ku dengan Udin.
 “ nduk ,” panggilan sayang yang Udin berikan untukku
“ nduk kamu itu bidadariku “ pujinya ketika kami barusan saja merajut kasih asmara. Dia selalu memuji – muji aku di depan setiap orang yang kami jumpai, bahkan ketika itu kami sedang berjalan – jalan di mall, dia selalu memamerka aku di depan SPG yang ada dan berkata “ mbak pacarku ini cantik ya,”. Selalu, dimanapun kapan pun pujiannya untuk ku selalu ada. Dan hal ini yang tak akan pernah aku lupakan, bersamanya perasaan hati kami yang  sangat erat, aku ingat waktu itu aku pulang kulia malam dan ban sepeda motor ku bocor di daerah Waru, padahal aku tak memberitahukannya tentang kondisiku malam itu. Tiba – tiba Udin menelponku dan bertnya tentang keadaanku dan dia merasa khawatir tentang aku.
“ kamu dimana nduk, kamu nggak kenapa- kenapa? Perasaan ku enggak enak mikirin kamu? “ tanyanya di telepon
Jawab ku “ ban sepedaku bocor di daerah Waru, tapi enggak apa – apa koq. Kamu khan lagi kerja koq bisa telepon aku ?”
“ aku susul kamu disana, ya, cari tempat yang banyak orang aku ijin dulu dikerjaan, kamu jangan kemana – mana. Terus kasi kabar aku kalau ada apa – apa “ balas Udin
“ iya, iya, aku kasi tahu kamu koq kalau ada apa – apa “ kalimat terakhirku dan setelah itu telepon kami putus. Tak lama kemudian Udin muncul dihadapanku dan menenangkan aku, sontak aku tak bisa berkata apapun. Aku hanya terharu dan menangis mengingat betapa besarnya rasa sayangnya untuk aku, aku tersanjung dan memeluknya.
 Padahal jika di ingat lagi masa perkenalan, kita adalah  musuh, seperti anjing dan kucing yang nggak bisa akur. Aneh karena kami sering mengejek tumbuhlah benih sayang itu dalam hati kami, empat tahun. Ya, empat tahun masa yang cukup matang bagi kami untuk melangkah kejenjang pernikahan. Karena itu aku dan udin sepakat untuk membawa hubungan kita kepelamina dan membina rumah tangga bahagia.
Hari – hariku bersama Udin selalu bahagia, aku enggak pernah merasakan kesendirian, kesepian, dia selalu ada untukku dan selalu  menganggapku putrinya. Bahagia...hanya bahagia yang ku rasakan ketika aku bertemu dan berdekatan dengannya.
Masih ku ingat hari itu sabtu siang, 28 januari 2008 Udin serta keluarganya mendatangi rumahku hendak menentukan hari baik bagi kami berdua dan sekaligus dia memintaku dari orang tuaku, rasa bahagia tak bisa kubendung ketika itu. Setelah membicarakanya panajng lebar dan sepakat bahwa hari baik kami adalah 08 mei 2010, tanggal yang baik menurut keluarga kami. Bulan itu adalah bulan yang sangat terindah bagiku karena 01 mei aku tepat berusia 27 tahun dan seminggu setelah itu aku dipinang oleh pria yang ku sayangi, dan dia yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tanggaku.
Semua persiapan dari hari kehari hampir matang. Mulai pemilihan warna baju kemanten, makanan, undangan, gedung, dan sebagainya aku dan Udin yang mengurusnya sendiri karena kami ingin terlibat sendiri untuk acara yang bersejarah dalam hidup kami.
Belum sempat aku membayangkan bagaimana jika kami berdua berada dalam satu atap rumah, semua persiapan dan kebahagianku runtuh seperti gedung WTC yang runtuh ditabrak pesawat teroris. Terlihat kuat bangunannya namun cepat ambruk, sama seperti hatiku.
Siang itu 04  mei 2010, ketika aku hendak main kerumanhya Udin, aku tahu kalau hari ini dia masuk sore tapi aku hanya ingin main dan lebih dekat dengan calon mertuaku,sambil menunggunya pulang kerja  aku nekat main kesana. Entah kenapa perasaanku sedih, seperti mau ditinggal mati oleh orang yang ku sayangi, masuk kerumah Udin lebih dalam perasaanku makin campur aduk, aku tak tahu kenapa seperti ini. Tak lama setelah aku bercanda tawa dengan adiknya Ibunya Udin datang menghampiriku “ Ibu minta maaf sebelumnya “ kata calon mertuaku itu lirih padaku. “ kenapa minta maaf, bu, ada apa ?” tanyaku dengan perasaan takut. Balasnya padaku “ maaf, kalau pernikahan kalian sepertinya tidak bisa dilanjutkan “. Air matku langsung menetes dipipiku deras, apa ini jawaban dari perasaanku yang galau dari tadi “ kenapa “ tanya ku gemetar “ kemarin ibu ke orang pintar dan menantakan tentang tanggal lahor kalian berdua dan setelah dihitung jumlah kalian ketemunya mati “. Tradisi orang jawa biasanya suka menghitung weton atau tanggal lahir menurut kalender jawa. Aku terpaku “ Udin tahu tentang ini ? “ tanyaku, “ Udin baru tahu kemarin, dan Ibu pikri dari pada menunda – nunda untuk memberitahukanya pada kamu, takutnya ada apa – apa. Jadi Ibu pikir sekarang waktu yang pas “ sesak nafasku kumat aku kejang, aku tak sadarkan diri, pikiranku melayang, bulan depan aku dan Udin duduk dalam kuade bersama, hanya itu yang kupikirkan.
“ Lia, Lia, bangun.....ini aku “ tangan yang lembut mengelus – elus keningku
“ Udin “ jawabku
“ ya, ini aku. Ayo bangun enggak ada apa – apa koq, ada aku disini jangan takut “ katanya padaku. Aku bangun dan memeluknya serta menangis sejadi – jadinya, “ kita akan tetap menikah kan,? ”tanyaku dengan menangis, Udin membisu.
“ kamu tenangin diri dulu nanti baru kita bahas lagi tentang pernikahan “ kata Udin padaku
“ aku sudah tenang “ jawabku
“ kita tidak bisa lanjut jika orang tuaku tak merestuinya “ lanjutnya dengan mata yang berlinang
“ bagaimana denga semua persiapan kita, aku sayang kamu. Jangan tinggalkan aku “ sampai aku sujud dikakinya memohon agar dia tetap menikahiku, namun semua tak berhasil.
Aku pulang kerumah dan memberitahukan semuanya pada keluargaku, mereka kecewa. Dan keesokanya aku dan orang tuaku kerumah Udin untuk mengembalikan semua seserahanya padaku ketika lamaran. Semua undangan, baju kemanten warna coklat muda, dekor ruangan gedung dengan coklat muda semuanya hanya kenangan. Coklat muda adalah warna faforit kami, aku dan Udin namun semuanya hanya ilusi.
“ Udin mana,bu? “ tanyaku pada Ibunya
“ Udin sudah tidak disini, dia pergi ke Jakarta dan minta pindah kerja disana”. Jawab Ibunya padaku.

Setelah kejadian itu aku dan Udin tak pernah ketemu lagi, aku hanya tahu kabarnya lewat facebook. Satu hal yang perlu kamu tahu aku masih mencintai kamu, Udin. Semoga kamu disana juga memiliki rasa yang sama denganku. aku tertidur dengan merangkul undangan warna coklatku.


   ******  THE END         *******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar